29 Jun 2011

Kebebasan dan Keyakinan

Langit Kota by Mr-Aan
Langit Kota, a photo by Mr-Aan on Flickr.
Jangan paksa aku berlari, 
bahkan berjalan, saat ku ingin terbang.
Meski tanpa sayap.
Kan ku sentuh langit itu.
Ku tatap saja langit adalah inspirasi,
aku bisa bermimpi.
Oh, Tuhan..
Ajari aku yang bodoh ini.
Bagaimana aku menyentuhnya.
Izinkan hamba untuk berada di sana,
di dunia yang sangat berarti.
Hingga aku atau hambamu,
bebas..!
***
Sebagai anggota masyarakat, kita sering melihat kepada orang lain bagaimana sebaiknya kita bersikap. Sebagian besar dari kita adalah pengikut, bukan pemimpin, berjalan di atas jalan yang banyak di tempuh dengan nyaman dan mudah, jarang meretas jalan kita sendiri. Kita lebih memilih untuk membiarkan orang lain menentukan standar, masuk ke dalam barisan dengan hati-hati agar tidak timbul gejolak.

Jika Anda membiarkan perilaku Anda dipengaruhi oleh perilaku orang lain, Anda mengorbankan keinginan dan keperluan Anda sendiri untuk bisa di terima. Orang-orang yang memiliki kebebasan dan keyakinan diri tidak mudah diombang-ambingkan oleh orang banyak jika mereka merasa tidak tertarik terhadap sesuatu. Mereka mengetahui apa yang mereka inginkan dan tidak peduli walaupun mereka harus sendirian.

Sendirian? Ya, hanya sendirian. Jika tidak ada seorangpun maka saya akan menjadi orang yang memiliki kebebasan dan keyakinan itu.

Bimbing aku, Allah ya Tuhanku. Amin.(*)
Malam larut, malam memulai hujan
inilah saatnya untuk kembali pulang.
Kita sudah cukup jauh mengembara
menjelajah rumah-rumah kosong.
Aku tahu: teramat menggoda untuk tinggal saja
dan bertemu orang-orang baru ini.
Aku tahu: bahkan lebih pantas 
untuk menuntaskan malam di sini bersama mereka,
tapi aku hanya ingin kembali pulang.
Sudah kita lihat cukup destinasi indah
dengan isyarat dalam ucap mereka
Inilah Rumah Tuhan. Melihat
butir padi seperti perangai semut,
tanpa ingin memanennya. Biar tinggalkan saja
sapi menggembala sendiri dan kita pergi
ke sana: ke tempat semua orang sungguh menuju
ke sana: ke tempat kita leluasa melangkah telanjang.
- Jalaludin Rumi
 

28 Jun 2011

Waktu, Perubahan dan Ramadhan

Freeze Time by Mr-Aan
Freeze Time, a photo by Mr-Aan on Flickr.

Akan menjadi sesuatu yang ironis jika kita menyampaikan pesan dari Tuhan sementara kita sendiri jauh dari Tuhan. ***

Kata-kata itu memang dapat menggerakkan, namun teladan itulah yang menarik hati. ***

Manusia tidak bisa mengajarkan sesuatu sekehendak hatinnya, manusia tidak bisa mengajarkan apa yang tidak dimilikinya, manusia hanya bisa mengajarkan apa yang ada padanya. *** 


Ternyata tidak hanya manusia saja yang menganggap waktu adalah sesuatu yang penting. Semesta raya yang terikat dengan waktu pun membuat setiap sendi pengisinya terikat dengan waktu. Tetumbuhan dan binatang, ritme hidupnya memperkirakan pergantian waktu. Mereka memperkirakan kapan pagi menjelang, malam menyongsong, musim dingin menyerang, atau musim panas merongrong. “Lantas .. apa sebenarnya waktu itu?”.

Waktu tak bisa dilihat. Detik, menit, jam, hari, bulan, tahun hingga abad hanyalah simbol, bukan wujud dari waktu. Yang kita rasakan hanyalah lama dan sebentar, itu adalah yang kita rasakan tentang waktu, namun sadarkah kita bahwa waktu terus berlalu? Dan waktu pun terus berjalan dengan atau tanpa kejadian? Ramadhan yang tinggal beberapa satu bulan lagi adalah juga tentang waktu. Esensi dari waktu merupakan perubahan atau pergantian. Meski kita tahu bahwa tidak perlu menunggu satu tahun untuk melakukan perubahan-perubahan dalam hidup. Ya, setiap saat adalah perubahan. 

“Waktu mengubah segala-galanya kecuali sesuatu hal dalam diri kita, yang selalu kaget dengan perubahan,” - Thomas Hardy. 

Waktu adalah anugerah. Permasalahannya, bagaimana kita memanfaatkannya sebaik mungkin dan kita tentunya memiliki kemampuan untuk itu. Kuncinya memanfaatkan sebaik mungkin. Momen perubahan tidak hanya ada pada Ramadhan yang sesaat lagi datang kemudian menuju lebaran saja atau momen-momen lain yang serupa. Apalagi jika moment tersebut hanya kita gunakan sebagai ajang pelampiasan atas ketidakberdayaan kita atas kegagalan-kegagalan kita di masa lalu. Tak masalah Anda menyulut petasan atau kembang api, tapi yang penting haruslah beriringan dengan pemanfaatan yang lebih baik Anda harusnya berpikir “Apa manfaatnya menyulut petasan atau kembang api?” jika tidak bermanfaat, seperti kata Hardy di atas, Anda akan selalu kaget dengan perubahan dan selalu menjadi orang yang tak siap atas perubahan. Lakukan revisi besar dalam hidup. Perjalanan hidup seseorang di suatu masa, memang tak menjadi ukuran apapun bahwa ia akan menjadi seperti apa di masa yang lain. Sepotong episode hidup seseorang di suatu waktu, tak pernah menjadi ukuran bahwa ia juga akan menjadi orang yang sama dengan episode hidupnya di masa tertentu. 

Kita harus mempunyai waktu untuk segera merespon perubahan-perubahan dalam hidup ini. Merevisi hidup, merupakan perkara besar. Revisi selalu membutuhkan pengorbanan besar, mungkin juga rasa sakit. Ini jika kita harus merevisi dan merubah sesuatu yang buruk menjadi baik. Termasuk meninggalkan suatu keburukan pada kebaikan, melepas suatu kebiasaan buruk, membuang tradisi buruk yang mungkin sudah dilakukan berulangkali dan kita merasakan kenikmatan sendiri melakukan keburukan itu. Seperti perkataan Muhammad Natsir, “Sejarah telah menunjukkan, tiap-tiap bangsa (atau siapapun) yang telah menempuh ujian hidup yang sakit dan pedih, tapi tidak putus bergiat menentang marabahaya, berpuluh, bahkan beratus tahun lamanya, pada satu masa akan mencapai satu tingkat kebudayaan yang sanggup memberikan penerangan kepada bangsa lain.” 

Betapa banyak orang yang tidak cenderung mau memeriksa perjalanannya lalu merevisi hidupnya. Sampai hidupnya perlahan terus digerogoti usia, sampai jasadnya terus menerus dimakan waktu yang tak pernah berhenti. Hingga akhirnya, ia tak mampu lagi melakukan perubahan yang berarti karena renta, atau karena usianya yang memang sudah selesai waktunya, Betapa banyak diantara kita yang tidak peduli dengan perguliran waktu, dan membiarkan hidupnya berjalan seperti air, tanpa target, tanpa rencana, tanpa tujuan yang jelas. Hingga hidupnya terjebak pada situasi yang tak memungkinkannya lagi untuk merubah arah. Betapa banyak di antara kita yang membiarkan kehidupannya berlalu dengan produktivitas kebaikan yang rendah, sementara orang-orang lain telah memiliki saham kebaikan di mana-mana. Hidupnya berlalu dan berakhir begitu saja. 

Hidup terlalu mahal untuk dibiarkan mengalir seperti air. Apalagi jika kita menyadari, air selalu berbentuk seperti wadahnya, lalu jika wadahnya kemaksiatan, apakah kita rela terbentuk olehnya? Air juga mengikuti hukum gravitasi, ia akan turun, mencari tempat ke bawah, apakah kita mau terus-menerus turun? Hidup harus direncanakan, diarahkan dan dipelihara sedemikian rupa agar tujuan hidup benar-benar tercapai. Hidup harus pula direvisi, dibenahi, dirubah jika perlu dan memang harus mengalami perubahan. Agar hidup ini bisa seiring sejalan dengan semakin bertambahnya amal-amal shalih yang menjadi alurnya. Seperti apa yang dikatakan Utsman bin Affan RA, “Tak ada kecintaan padaku pada perguliran hari dan malam, kecuali aku menemui Allah dengan membaca Mushaf.” 

Mari, kita menghisab diri kita masing-masing. Perlukah kita merivisi hidup kita untuk mencapai tujuan hidup kita yang paling hakiki? Jika harus, bersegeralah, jangan tunda-tunda, jangan tunggu Ramadhan berikutnya!


Aan Sopiyan
Cimahi, 27 Rajab 1432 H
Isra Mi'raj yang hingar bingar di malam ini.

23 Jun 2011

Mengapa Saya Menulis?

Bola Cahaya by Mr-Aan
Bola Cahaya, a photo by Mr-Aan on Flickr.
Dengan menulis, kita dapat menyebarkan ilmu yang kita miliki. Ilmu lebih utama dibanding dengan harta karena ilmu itu mejaga kamu, sementara kamu mejaga harta. - Ali Bin Abi Tholib

Sejarah suatu bangsa, sejarah manusia, sejarah sebuah ilmu pengetahuan, dapat diketahui karena adanya tulisan, meskipun pada saat itu bentuk dan media tulisan tidak secanggih saat ini. Lantas, apa pengaruhnya kita mengetahui sejarah?


Sejarawan Milan Hubl mengingatkan tentang betapa besar pengaruh sejarah terhadap perjalanan suatu masyarakat atau bangsa. Bahwa langkah pertama menaklukan suatu bangsa adalah dengan merusak ingatan. Lalu perintahkan seseorang untuk menulis buku baru, membangun kebudayaan baru, dan menyusun sejarah baru. Tinggal menggantang waktu, bangsa itu akan lupa pada masa kini dan masa lalunya.


Inilah alasan terbesar saya tentang “Mengapa saya menulis?” adalah semoga saya bukan termasuk manusia yang lupa, lupa pada masa kini dan masa lalu. Menulis menjadi sarana yang paling efektif untuk mengingat kehidupan. Kehidupan itu tentu saja tentang pikiran, perasaan, dan pengalaman yang dialami.


Ada empat pengalaman atau lebih khusus ialah keterampilan berbahasa yang diterima seseorang secara berurutan. Keterampilan tersebut ialah menyimak (mendengar), berbicara, membaca, dan menulis. Saat pertama kali kita lahir kemampuan awal kita adalah menyimak, kemudian berbicara untuk selanjutnya. Lantas, masuk ke dunia pendidikan maka kita diajarkan membaca terlebih dahulu, dan yang terakhir adalah menulis.


Tidak penting bagi saya tentang kenapa menulis itu ada diurutan terakhir. Tidak selalu seperti itu memang, tapi keumuman hidup memang seperti itu. Bahwa kita harus menjadi penyimak dahulu baru berbicara, dan membacalah dahulu baru bisa menulis. Maknanya adalah pikiran dan perasaan kita itu seperti kendi air. Kendi bisa Mengeluarkan air jika memang air dimasukkan kedalamnya. Oleh karena itu, dari menyimak dan membacalah kita kemudian bisa berbicara dan menulis. Dengan berbicara dan menulis, maka kita sedang mengungkapkan pikiran dan perasaan kita sendiri.


Selain itu, mengungkapkan pikiran dan perasaan merupakan pengalaman lain yang hebat. Terlebih khusus saat kita menulis. Mesti kita menulis untuk pembaca, hakikatnya menulis justru untuk diri kita sendiri. Bagi saya sendiri, saat menulis juga memberikan perasaan kesenangan dan kepuasan. Karena apa? Disanalah saya bisa merasa benar-benar menjadi saya sendiri. Hasil tulisan yang saya tulis itu adalah ternyata saya, dalam tulisan. Setiap kali saat berusaha menulis, saat itu pun saya berusaha memahami diri saya sendiri.

Kita lahir dalam keadaan lapar. Kita lapar akan makanan, akan kehangatan, akan sentuhan cinta, dan juga hal lainnya. Kita lapar akan pemahaman, akan pengetahuan tentang apa yang terjadi disekitar kita. Hampir sesaat setelah kita mulai bisa bicara, kita menanyakan pertanyaan yang sama berulang-ulang: “Kenapa?” Dan kita masih mengajukan pertanyaan yang sama saat berkata, tak lama kemudian, “Ceritakanlah sebuah dongeng untukku.” – Marion Dane Bauer

20 Jun 2011

Pemaknaan Sebuah Proses

Membaca sebuah buku yang sedikit membahas mengenai beberapa fenomena kehidupan sosial masyarakat saat ini. Ada beberapa hal yang perlu digaris-bawahi. Diantaranya tentang bagaimana sebagian masyarakat kita menjadi begitu berorientasi pada hasil dengan menurunkan pemaknaan sebuah proses.

Kian hari, tampaknya kita hidup di dalam masyarakat yang kini kian berorientasi hasil dibanding proses. Masyarakat yang menginginkan pemecahan masalah saat ini juga, secepatnya juga. Lihat saja iklan makanan siap saji, dengan beberapa menit saja mereka siap menghidangkannya langsung dihadapan kita. Atau ada juga fasilitas-fasilitas dan program-program seperti mengeringkan pakaian sejam, memutihkan kulit seminggu, meninggikan badan sebulan dan janji memberikan kesuksesan sesegera mungkin, semudah membalik telapak tangan.

Kita juga disodori berbagai tips cespleng, 9 trik memuaskan pasangan Anda; kiat kencan sejam dengan idola; 6 jam bisa bahasa Arab atau 24 jam terampil berbahasa asing; atau juga training 1 hari jadi entrepreneur sukses tanpa modal.

Lantas, kita jadi begitu terobsesi dengan hal yang serba seketika. Kita mulai menjadi makhluk yang mengutamakan hasil ketimbang proses. Hasil itu harus di raih dalam sekejap. Dengan nada getir orang menyebut kecenderungan ini sebagai "Budaya Instan", budaya seketika. Ingin dapat uang cepat kita ikut undian. Ingin pilih pemimpin kita hamburkan SMS. Ingin pilih idola gelar pentas calon bintang.

Namun, kita sedikit terhenyak ketika menyadari ternyata hidup adalah suatu perjalanan yang tiada henti dalam menemukan diri. Ada rasa bahwa hidup adalah juga memiliki asas kebermanfaatan. Ini berarti, kita perlu menyediakan waktu bagi sesama: bagi seorang ibu atau ayah Anda harus meluangkan waktu untuk membelai anak-anak Anda tercinta. Dan bagi kita pun, kita harus bisa menyapa hangat tetangga kita. Menyantuni anak-anak yang tak mampu, menyeberangkan tunanetra atau orang tua di jalan. Merawat bunga dipekarangan. Membayarakan ongkos penumpang angkutan kota yang duduk disebelah kita, atau membiarkan orang lain mendahului kita di jalan raya saat berkendara.

Lagi-lagi, mungkin perumpamaan ini memang paling cocok untuk kita semua, dan sangat kusukai. Perumpamaan yang sederhana dalam menyelami makna hidup adalah dengan memandang sebatang pohon. Jika sebuah pohon di beri pupuk sekadarnya, ia memang bisa bertahan hidup, tetapi tidak berkembang dengan baik. Tetapi jika diberikan pupuk yang cukup dan bukan sekadar apa yang diperlukannya untuk hidup, maka pohon itu akan hidup dan berkembang, dan bahkan menghasilkan buah yang berlimpah. Kemudian lihatlah ketika hingga pada gilirannya ada bunga-bunga bermekaran bersamanya.(*)

Merah Muda Memikat (Mr-Aan's Photo: http://flic.kr/p/9UR8PJ)

19 Jun 2011

I Love Ahad Day

Hari ahad ini, tanggal 19 Juni 2011 kuawali aktifitas pagi dengan memiliki tujuan untuk datang ke Ta’lim Majelis Percikan Iman (MPI) di Masjid Al Murosalah, Learning Center Telkom, Geger Kalong, Bandung. Mengendarai sepeda motor aku ditemani seorang kawan, kang Iik, maka berangkatlah ketempat Jihad[1] itu. Motor yang kukemudikan melaju cukup santai saja. Singkat cerita tibalah di tempat tujuan. Tapi kemudian ada keanehan ...

“Kang Aan, Sepi!” Iik berbicara padaku dibelakang, tempat boncengan motor.
“Sigana MPI pindah tempat, Ik!”[2]

Terdengar sayup-sayup ada supir angkot berteriak pada ibu-ibu yang kemungkinan sama herannya dengan kami karena tak ada kegiatan MPI di sini, “UNISBA, UNISBA!”

“Oh, hari ini pindah ke UNISBA, Ik, MPI-nya” Segera kuambil kesimpulan begitu.

Tanpa banyak cingcong lanjutlah perjalananku dan kang Iik ke UNISBA atau Universitas Islam Bandung di jalan Tamansari No. 1 (dan aku baru tahu kalau UNISBA ternyata alamatnya itu No. 1 loh). Karena sedikit lupa-lupa inget jalan ke sana sempat juga kita salah tempat. Malah kita sampai di Masjid Salman ITB (Institut Teknologi Bandung). Soalnya sama-sama di jalan Tamansari walau sebenarnya UNISBA dan ITB berjauhan. Setelah ngeh dan sedikit bersusah payah mengambil jalan memutar kita sampai juga di UNISBA.

“Oh, ternyata lagi ada Tabligh Akbar, Ik!”, kataku setelah melihat spanduk yang melintang setelah masuk ke area kampus. Tema Tabligh Akbar ini The Power of Green, Media & Komunikasi Lingkungan. Penyelenggaranya FIKOM UNISBA dan Percikan Iman. Pembicaranya tak lain dan tak bukan adalah Ustadz Dr. H. Aam Amirudin, M.Si.

Tabligh Akbar Fikom UNISBA & Percikan Iman (19/06/11)
Langsung aja deh aku dan Iik masuk ke jamaah yang sudah berdesakan untuk mengikuti kajian MPI yang judulnya berganti jadi Tabligh Akbar ini. Pengantar acara dibuka oleh salah seorang perwakilah Staf Ahli lingkungan Pem-prov Jawa Barat dan Dekan UNISBA (yang kedua-duanya aku lupa namanya, hehe..) kemudian masuklah ke materi inti oleh Ustadz Aam.

Beberapa hal yang kucatat dan kuringkas dari ceramah Ustadz Aam sebagai berikut:

Diawali dengan QS. Al-Baqoroh: 30 berikut ...


Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".


Dalam ayat tersebut tersirat, bahkan tersurat bahwa malaikat memprediksikan bumi itu akan dirusak oleh manusia. Bukan makhluk jin atau lainnya, melainkan hanya manusialah yang akan merusak bumi. Seperti fenomena global warming sekarang itu tak bisa dipungkiri bahwa manusialah yang paling bertanggungjawab atas fenomena tersebut.

Kita juga harus menyadari bahwa bahwa kita sebenarnya hidup di negara yang sangat kaya, Indonesia. Tapi fakta negara kita saat ini adalah Indonesia bisa dikatakan sebagai negara yang kerusakan lingkungannya sangat cepat. Terutama pembalakan liar pada hutan-hutan di Indonesia, juga ternyata kesadaran akan pentingnya kelestarian lingkungan masih rendah di masyarakat kita. Buang sampah sembarangan adalah salah satu contoh bahwa sebagian masyarakat Indonesia belum terlalu peduli akan lingkungan.

Kemudian dilanjutkan kepada QS. Al A’raf: 55-56 berikut ...


Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.


Setidaknya ada dua pelajaran yang bisa diambil dari ayat-ayat Al Qur’an diatas:

  1. Mustajabnya doa kita ada kaitannya dengan bagaimana sikap kita memperlakukan alam;
  • Bahwa doa yang kita sampaikan kepada Allah hendaklah kita ungkapkan dengan rendah hati, dengan suara yang lembut.
  • Saat kita mendzolimi lingkungan maka sebenarnya kita pun secara tidak langsung sedang mendzolimi orang lain, terutama orang lain yang tinggal disekitar lingkungan tersebut. Maka jika doa kita belum terkabul, barangkali salah satu penyebabnya adalah karena kita seringkali dzolim pada lingkungan maka secara tidak langsung kita juga sedang mendzolimi orang lain. Lantas, mungkinkah Allah mengabulkan doa-doa kita?
  1. Bumi ini rusak karena tidak dikomunikasikan dengan baik kepada ummat.
  • Islam mengajarkan tentang komunikasi tertinggi seorang manusia, yakni komunikasi spiritual dalam sebuah doa. Dalam doa inilah manusia bisa berkomunikasi dengan sebebas-bebasnya kepada Sang Pencipta. Selain itu, komunikasi dengan Sang Pencipta – Allah SWT – adalah komunikasi yang tidak mungkin ada salah persepsi dalam proses komunikasinya. Berbeda dengan komunikasi antar manusia yang seringkali banyak sekali kemungkinan salah persepsi.
  • Manusia adalah makhluk yang harus senantiasa diberi peringatan. Dalam QS. Al Ghasiyah: 21 ... Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.
Bahasan lainnya adalah tentang Komunikasi ...

  1. Qowlan Sadida (Perkataan yang benar). QS. Al-Ahzab: 70 ... Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.
    • Harus mengikuti kaidah ilmu;
    • Harus jujur, tidak ada kebohongan;
    • Bara berkomunikasi (penyampaiannya) harus benar.
  2. Qowlan Baligho (Perkataan yang berbekas pada jiwa atau bisa menyentuh hati). QS. Annisa: 63 ... Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.
  3. Qowlan Layyina (Perkataan yang santun atau lemah lembut). QS. Thaha: 44 ... maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.
  4. Qowlan Karima (Perkataan yang mulia). QS.Al Isra: 23 ... Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
  5. Qowlan Ma’rufa (Perkataan yang baik). QS. Annisa: 5 ... Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
Ya, itulah gambaran singkat yang kutangkap dari ceramah ustadz Aam. Kalau kucatat dan kusampaikan semua apa yang dibahas pagi tadi, mungkin posting-an ini semakin panjang lagi. Tapi semoga itu cukup mewakili atas apa yang telah dibahasan dan disampaikan tadi.

Balik lagi keperjalananku dan kang Iik. Setelah dari UNISBA kang Iik ada keperluan harus ke BRC (Bekam Ruqyah Center). Ada sesuatu yang harus dibeli katanya. Jadi kita putar arah 180o ke Geger Kalong lagi. Bukan ke Learning Center Telkom, tapi ke KPAD Geger Kalong, Bandung. Kita ke kawasan Pondok Pesantren Daarut Tauhid. Ya, betul sekali, disana ada Pondok Pesantren yang didirikan KH. Abdullah Gymnastiar atau sering kita kenal dengan sebutan Aa’ Gym.

Menakjubkan sekali, setelah sekian lama tak berkunjung ke DT (Daarut Tauhid) ternyata disana masih nampak ramai dengan para santriwan dan santriwati. Suasana yang hangat, religius, dan selalu membuat semangat beramal kebaikan setiap kali aku berkunjung kesana. Jauh dari permberitaan media selama ini yang selalu bilang DT menjadi sepi.

Setelah shalat dzuhur disana tanpa diduga-duga malah ketemu kang Dia Rediana Putra a.k.a Qefy al-Ghifari. Dia habis photo-photo katanya dan mau langsung ke kost-an adiknya, Evita Jude. Aku dan Iik lanjut jalan ke BRC, tapi sebelumnya kita makan siang dulu. Kita makan tongseng siang tadi.

Menu Tongseng

Teh Tarik
Sudah kenyang, dan Iik pun sudah membeli barang yang dicari di BRC lantas sayang sekali kalau langsung pulang ke rumah. Kita lanjut perjalanan siang tadi ke salah satu tempat kesukaan di Bandung. Kita pergi ke Jalan Keutamaan Istri. Ini jalan namanya emang unik. Tapi selain itu, kenapa tempat itu adalah salah satu tempat kesukaanku adalah karena disana banyak dijual buku-buku, juga majalah-majalah. Buku-buku yang dijual memang kebanyakan buku bekas, tapi tak jarang ada buku baru juga. Harganya pun disana murah meriah. Paling murah Rp. 5.000,- hingga Rp. 30.000,- (setahuku tidak ada yang lebih mahal dari itu).

Jalan Kautamaan Istri, Bandung

Kang Iik
Setelah menimbang-nimbang, dan menjelajah tumpukan buku, ada satu buku yang langsung mendapat perhatianku saat pertama kali melihat. Ini bukunya ...

Cover Depan Novel Cinta Suci Zahrana

Cover Belakang Novel Cinta Suci Zahrana

Bagian dalam Novel Cinta Suci Zahrana
Aku beli Cuma Rp. 25.000,- (setelah terjadi tawar menawar yang sengit tentunya). Wah, senang deh dapat lagi satu buku karya kang Abik (Habiburrahman El Shirazy). Setelah baca Novel Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2, dan Bumi Cinta, serta nonton film dalam Mihrab Cinta, kini siap melahap Novel barunya: Cinta Suci Zahrana.

Aku langsung pulang dengan kang Iik. Terus sekarang mau baca novelnya setelah kuposting tulisan ini. Terima kasih yang sudah mau baca hingga selesai, semoga ada manfaat dan pembelajarannya. Oh ya, jadi keingetan... tulisan ini kuanggap sebagai tulisan liburanku di bulan Juni ini. Jadi, tugas menulis kisah liburan sebagai salah satu Bloofer kunyatakan: complete.



1 Jihad = Ngaji hari Ahad (Selain makna sebenarnya)
2 Kayaknya MPI pindah tempat, Ik!

16 Jun 2011

Sedikit Efek Tentang Senyum

Dalam bukunya Bagaimana Mencari Kawan dan Mempengaruhi Orang lain Dale Carnegie menuliskan sebuah kisah ringan dari Dr. Stephen K. Sproul, yang berprofesi sebagai dokter hewan, tentang satu harinya yang biasa. Ia berasal dari Raytown, Missouri. Pada suatu saat ruang tunggunya penuh dengan klien yang menunggu binatang kesayangan mereka di suntik. Tak seorang pun dari mereka yang berbicara dengan seorang lainnya, dan mungkin semuanya sedang berpikir tentang selusin hal yang lebih suka mereka kerjakan daripada “membuang waktu” duduk di kantor dokter itu.

Ada enam atau tujuh klien yang sedang menunggu tatkala seorang wanita muda masuk, bersama bayi Sembilan bulan dan seekor kucing. Kebetulan, wanita itu duduk di sebelah seorang pria setengah baya yang kesal dengan pelayanan yang mengharuskannya menunggu lama. Hal berikutnya yang dia tahu, bayi itu memandangnya dengan tersenyum lebar, senyum khas bayi. Apa yang dilakukan lelaki itu? Tentu saja, persis seperti yang biasa akan terjadi; dia membalas senyuman si bayi.

Segera saja dia jadi mengobrol dengan wanita itu tentang anaknya dan cucu lelaki itu, kemudian serta merta mereka yang berada di ruang tunggu itu ikut bergabung dengan mereka. Kebosanan dan ketegangan berubah menjadi satu pengalaman yang menyenangkan.

Satu senyuman yang tulus dan hangat? Ya, tentu saja. Hanya karena satu senyuman suasana bisa berubah dengan hangat. Tidak hanya sekedar fenomena kemanusiaan semata, tetapi memang menjadi kelebihan manusia yang tidak dimiliki makhluk lain. Menurut sebagian filosof, “senyum dan tawa, itulah manusia.”

“Orang yang tersenyum,” menurut professor James V. McConnell, “cenderung mampu mengatasi, mengajar, dan menjual dengan lebih efektif, dan membesarkan anak-anak yang lebih bahagia. Ada jauh lebih banyak informasi tentang senyuman daripada sebuah kerut di kening. Karena senyum itulah yang mendorong semangat, alat pengajaran yang jauh lebih efektif daripada hukuman.”

Senyuman dapat membawa manusia jauh dari kesulitan kehidupan nyata. Manusia membutuhkan rasa santai. Kondisi santai inilah yang sebenarnya menjadi dorongan untuk tersenyum, bahkan tertawa. “Kondisi terhibur sama dengan bermain yang mencangkup prisnsip kesenangan. Fungsi psikisnya adalah meringankan beban jiwa dan pikiran,” demikian Sigmund Freud menjelaskan.

Pengaruh dari senyuman memang luar biasa, bahkan tatkala senyuman itu tidak tampak di depan mata. Cobalah untuk tersenyum saat Anda berbicara melalui telepon. Senyum Anda akan “terlihat” dalam suara Anda. Ya, tersenyumlah! Karena Anda tak akan melarat dengan senyum, justru Anda akan memperkaya diri Anda dan orang yang menerimanya.

Bukankah Rasul pernah bersabda, “Senyummu dihadapan saudaramu adalah sedekah” (HR. Tirmidzi dari Abu Dzarr, Subussalam). Senyum jadi amal saleh, tidak ubahnya sedekah. Dalam pandangan islam, senyum menjadi salah satu sarana pemupukan kasih sayang, untuk mengikat rasa kebersamaan menjadi ikatan persaudaraan antar sesama.

Oleh karena itu, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa manis muka atau murah seyum merupakan tafsiran dari keinginan untuk bersahabat. Memang ada juga orang yang tersenyum atau tertawa sendiri, tapi itu lain hal. Mungkin orang itu tidak waras? Tapi sebaiknya kita harus sepakat, senyum yang tulus memang pertanda seseorang sedang bahagia. Walau pun senyum atau tawanya berada dalam lingkup nggak jelas atau berada dalam situasi Jaka Sembung naik Ojek, Nggak nyambung Jek! (an’s / MiHeSo)

7 Jun 2011

Selalu Terdengar Baru

Hidup dengan sahabat menjadikan hidupku lebih berwarna. Tidak hanya sekadar warna-warna keceriaan, tapi juga warni-warni kesalahan menjadikannya dalam kesedihan. Hidupku dengan sahabatku adalah warna-warni.***

Seorang sahabatku, sekitar beberapa hari yang lalu bercerita tentang kehidupannya yang tak pernah aku sangka-sangka sangat memiriskan hati. Siapa yang mengira dalam keceriaan tertanam kesedihan yang begitu mendalam? Diri seorang pejuang, apa memang harus seperti itu? Mempertunjukkan kebahagiaan pada orang lain dan menanam kesedihan dalam diri sendiri.

Lantas, cerita kehidupannya pun terus mengalir. Ada tutur haru, sendu, malu, dan ragu. Kisahnya cukup klasik, terkait masalah keluarga. Tapi kenapa hal yang klasik ada di jaman modern seperti ini? Dan nyatanya ada, bahkan mungkin tidak sedikit. Itu masalahnya. Tak habis pikir diriku menelaah ceritanya.

Aku pikir hanya sinetron saja yang menayangkan kisah ironi seperti itu. Tapi Tuhan pun menunjukkannya padaku. Dan itu terjadi pada temanku, sebagai salah satu pelakunya.***

Ada sebuah kesadaran lagi. Kadang masalah yang kita hadapi tidaklah terlalu berat bila kita bandingkan dengan masalah orang lain. Hanya kita jarang melihat itu.

Kita harus bisa menatap tinggi hidup kita tapi tetap harus berpijak pada bumi. Di dunia ini selalu ada sesuatu yang lebih dari kita. Lebih sulit, lebih rumit, lebih lemah atau lebih besar, lebih jauh, lebih tinggi, dan lebih.. lebih.. Ingat saja peribahasa "di atas langit masih ada langit" dan bisa jadi di bawah bumi masih ada ruang-ruang kosong. Mungkin itu kelihatan seperti nasehat lama, tapi sesungguhnya akan selalu terdengar baru jika kita sadar di mana posisi kita.***

Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.

Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi. - Sapardi Djoko Damono, 1973


Catatan lalu:
Cimahi, 12 Oktober 2009
Aan Sopiyan

2 Jun 2011

Plastic Flower

Plastic Flower by Mr-Aan
Plastic Flower, a photo by Mr-Aan on Flickr.
Cantik tapi hanya tampak dari luar. Kamu hanya mencoba menyerupai, tapi faktanya kamu sangatlah jauh berbeda dengan ciptaan-Nya.

Ya, hanya tampak dari luar saja, tidak lebih. Hanya terlihat sama ketika hati dan mata kita terlalu jauh dan enggan untuk mendekat pada kenyataan.


Bosankah kamu dengan ini?