Cerita yang baik selalu mengandung perjuangan didalamnya. Cerita tentang apa pun atau siapa pun itu. Bahkan, bisa dikatakan, bila tanpa ada unsur perjuangan maka sesungguhnya tak ada cerita. Setiap orang tentunya punya cerita. Punya masalah yang harus diselesaikan, punya harapan yang harus diperjuangkan. Dan, saya tak pernah lupa bagaimana saya mendapatkan pelajaran berharga dalam hal ini. Hal dimana saya berjuang, bergulat dengan pergumulan batin.
Semasa SMA dahulu, saya mengikuti salah satu ekstrakurikuler Pencak Silat seni pernafasan. Masih teringat bagaimana awal-awal mengikuti latihan beladiri khas Indonesia ini, dimana saat itu lapangan sekolah penuh dengan para peserta baru yang hendak latihan. Banyaknya peminat ternyata membentuk rasa semangat tersendiri dalam mengikuti ekstrakurikuler ini.
Namun, sebagaimana umumnya orang-orang yang baru bergabung, pada dasarnya selalu menginginkan hal yang serba instant. Kebanyakan teman-teman saya yang lain, yang bergabung dengan ekstrakurikuler ini, saat itu berharap agar mereka langsung bisa pada beberapa tekhnik tertentu. (Sebenarnya terbersit juga dalam hati saya akan hal yang demikian).
Tapi kesadaran saya mencoba memahami bahwa segala sesuatu itu selalu membutuhkan perjuangan, proses, dan waktu yang lebih. Saya mencoba bertahan untuk terus latihan dan focus. Sementara di sisi lain beberapa teman sudah mulai berguguran, tak sabar menjalani proses latihan. Semakin hari rasanya lapangan terasa kosong. Awal latihan yang dimana lapangan dipenuhi peserta latihan, saat itu bila ada setengah lapangan saja yang terisi itu sudah membahagiakan.
Hal lain yang saya coba pahami adalah bahwa saya bergabung dan berlatih dengan ekstrakurikuler Pencak Silat ini bukanlah karena banyaknya peminat. Oleh sebab itu, meskipun lama kelamaan semakin sedikit yang ikut latihan, saya tetap bertahan.
Ada satu moment dimana setiap tahunnya, disekolah saya, diadakan demonstrasi ekstrakurikuler. Semua kegiatan ekstrakurikuler diwajibkan menampilkan performa atau aksi terbaik mereka, tanpa terkecuali ekstrakurikuler Pencak Silat.
Para pelatih saat itu membagi-bagi tugas tentang nanti siapa yang akan tampil. Ada yang akan kebagian menampilkan gerakan Pencak Silat perorangan, ada juga yang ber-regu. Selain itu, karena Pencak Silat ini adalah seni pernafasan maka ada juga penampilan “Transfer Energi” (kalau kamu pernah lihat seru banget lho!). Dan, yang paling seru adalah aksi pemecahan barang seperti pemecahan batu bata, genteng, dan besi-kikir. Pemecahan dilakukan dengan tangan, punggung, serta kepala terbuka.
Saya sendiri mendapat jatah untuk melakukan aksi pemecahan besi-kikir (semoga terbayang oleh kamu!). Itu akan menjadi klimaks penampilan kami nanti. Selain itu, tantangannya ialah pelatih meminta saya untuk memecahkan besi-kikir itu tidak dengan begitu saja, akan tetapi besi-kikir akan dalam keadaan terbakar api.
Sebelumnya saya sendiri belum pernah mencoba hal tersebut. Nanti itu akan menjadi percobaan sekaligus penampilan pertama selama saya bergabung dengan ekstrakurikuler Pencak Silat ini.
Satu bulan sebelum acara demonstrasi ekstrakurikuler rasa tegang sudah menerpa. Rasa tidak yakin dan tidak percaya bergulir dalam benak hampir setiap harinya. Semaksimal mungkin saya latihan sesuai saran dari pelatih. Saya korbankan waktu untuk terus berlatih dan memperkuat tekhnik dalam pemecahan barang. Beberapa teman terus memotivasi. Tapi tak jarang beberapa orang juga merasa sama tak-yakinnya dengan saya. Ah, rasanya ingin mengundurkan diri saja …
Salah seorang pelatih pernah bilang, “kalau pelatih sudah menunjuk agar kamu melakukan hal tersebut, maka itu sudah merupakan keputusan matang bahwa kamu mampu. Yakinlah..!”.
Tersenyum saya mendengar kata-kata itu. Ternyata pelatih sudah percaya pada saya. Sebuah motivasi layaknya angin yang menyentuh raga di musim kemarau.
***
Hari itu datang juga, satu demi satu setiap ekstrakurikuler menampilkan performa terbaiknya didepan khalayak ramai. Di depan para guru dan murid dari berbagai tingkat. Suasana tegang semakin meliputi mental saya. Hingga tiba giliran esktrakurikuler Pencak Silat diminta untuk masuk lapangan dan beraksi!
Teman-teman yang lain, satu persatu menunjukkan keterampilannya dalam berpencak-silat. Dimulai dari gerakan sederhana sebuah Pencak Silat, transfer energi, dan pemecahan batu batu dan genteng. Saya lihat yang menyaksikan saat itu sangat terpesona dan terpukau dengan keahlian rekan-rekan saya itu.
Hingga, tibalah giliran saya sendiri yang harus melakukan aksi. Dengan perlahan saya maju ke tengah-tengah lapangan. Disana sudah terpasang melintang besi-kikir yang disangga oleh dua kayu. Seorang pelatih mendampingi dan siap untuk segera membakar besi-kikir tersebut. Sejenak saya berusaha berpikir sesadar-sadarnya.
“Siap ?!” pelatih memastikan kesiapan saya.
Saya pasang posisi kuda-kuda menghadapi besi-kikir itu. Beberapa gerakan awal saya tunjukkan. Dihadapan saya juga sekilas terlihat beberapa teman sedang focus memperhatikan. Diantaranya juga ada yang sebenarnya anggota ekstrakurikuler Pencak Silat ini. Hanya saja mereka mundur tanpa berita dan tak pernah berlatih lagi.
Saya anggukan kepala pada pelatih pertanda kesiapan. Pelatih segera membakar besi-kikir itu hingga terlihatlah jilatan api berwarna biru yang berkobar dihadapan. Masih ingat dalam ingatan, tiba-tiba api membesar. Ada rasa kaget, hingga tanpa pikir panjang kuayunkan tangan ini menghantam besi-kikir itu. Ada sedikit rasa panas menerpa kulit lengan. Ouchh…!
Tapi syukurlah, dalam satu detik ada suara besi yang hancur menyentuh lantai lapangan dan diiringi hembusan api ke udara yang hampir-hampir menerpa wajah. Ya, saya berhasil!
Suara riuh rendah tepuk tangan menggema dilapangan saat itu. Beberapa teriakkan juga terdengar hingga ke telinga. Itu pengalaman yang luar biasa yang belum pernah saya rasakan. Ada kebanggaan tersendiri yang dicapai. Setelah itu beberapa orang memuji penampilan saya saat itu. Senang juga sih. Tapi mereka rasanya tidak tahu.
Mereka tidak tahu sih cerita dibalik semuanya itu. Mereka pikir kemenangannya terjadi hari itu, di lapangan, di depan khalayak ramai. Padahal kemenangannya terjadi berhari-hari lalu, bahkan berbulan-bulan sebelumnya, dalam benak saya, ketika saya memutuskan untuk menghadapi ketakutan saya, saya berjuang, melakukan prosesnya, meluangkan waktu lebih, tidak tanggung-tanggung, dan mengerahkan seluruh kemampuan maksimal saya.
Saya ingat kata-kata yang saya dapat dari sebuah buku motivasi, “sebelum kamu bisa menang dalam kehidupan bermasyarakat, kamu harus menang dulu dalam pergumulan batin. Suatu hari kamu akan mengerti bahwa perubahan yang baik dimulai dari perubahan dirimu sendiri”.
Hmm … Itu !***
Semasa SMA dahulu, saya mengikuti salah satu ekstrakurikuler Pencak Silat seni pernafasan. Masih teringat bagaimana awal-awal mengikuti latihan beladiri khas Indonesia ini, dimana saat itu lapangan sekolah penuh dengan para peserta baru yang hendak latihan. Banyaknya peminat ternyata membentuk rasa semangat tersendiri dalam mengikuti ekstrakurikuler ini.
Namun, sebagaimana umumnya orang-orang yang baru bergabung, pada dasarnya selalu menginginkan hal yang serba instant. Kebanyakan teman-teman saya yang lain, yang bergabung dengan ekstrakurikuler ini, saat itu berharap agar mereka langsung bisa pada beberapa tekhnik tertentu. (Sebenarnya terbersit juga dalam hati saya akan hal yang demikian).
Tapi kesadaran saya mencoba memahami bahwa segala sesuatu itu selalu membutuhkan perjuangan, proses, dan waktu yang lebih. Saya mencoba bertahan untuk terus latihan dan focus. Sementara di sisi lain beberapa teman sudah mulai berguguran, tak sabar menjalani proses latihan. Semakin hari rasanya lapangan terasa kosong. Awal latihan yang dimana lapangan dipenuhi peserta latihan, saat itu bila ada setengah lapangan saja yang terisi itu sudah membahagiakan.
Hal lain yang saya coba pahami adalah bahwa saya bergabung dan berlatih dengan ekstrakurikuler Pencak Silat ini bukanlah karena banyaknya peminat. Oleh sebab itu, meskipun lama kelamaan semakin sedikit yang ikut latihan, saya tetap bertahan.
Ada satu moment dimana setiap tahunnya, disekolah saya, diadakan demonstrasi ekstrakurikuler. Semua kegiatan ekstrakurikuler diwajibkan menampilkan performa atau aksi terbaik mereka, tanpa terkecuali ekstrakurikuler Pencak Silat.
Para pelatih saat itu membagi-bagi tugas tentang nanti siapa yang akan tampil. Ada yang akan kebagian menampilkan gerakan Pencak Silat perorangan, ada juga yang ber-regu. Selain itu, karena Pencak Silat ini adalah seni pernafasan maka ada juga penampilan “Transfer Energi” (kalau kamu pernah lihat seru banget lho!). Dan, yang paling seru adalah aksi pemecahan barang seperti pemecahan batu bata, genteng, dan besi-kikir. Pemecahan dilakukan dengan tangan, punggung, serta kepala terbuka.
Saya sendiri mendapat jatah untuk melakukan aksi pemecahan besi-kikir (semoga terbayang oleh kamu!). Itu akan menjadi klimaks penampilan kami nanti. Selain itu, tantangannya ialah pelatih meminta saya untuk memecahkan besi-kikir itu tidak dengan begitu saja, akan tetapi besi-kikir akan dalam keadaan terbakar api.
Sebelumnya saya sendiri belum pernah mencoba hal tersebut. Nanti itu akan menjadi percobaan sekaligus penampilan pertama selama saya bergabung dengan ekstrakurikuler Pencak Silat ini.
Satu bulan sebelum acara demonstrasi ekstrakurikuler rasa tegang sudah menerpa. Rasa tidak yakin dan tidak percaya bergulir dalam benak hampir setiap harinya. Semaksimal mungkin saya latihan sesuai saran dari pelatih. Saya korbankan waktu untuk terus berlatih dan memperkuat tekhnik dalam pemecahan barang. Beberapa teman terus memotivasi. Tapi tak jarang beberapa orang juga merasa sama tak-yakinnya dengan saya. Ah, rasanya ingin mengundurkan diri saja …
Salah seorang pelatih pernah bilang, “kalau pelatih sudah menunjuk agar kamu melakukan hal tersebut, maka itu sudah merupakan keputusan matang bahwa kamu mampu. Yakinlah..!”.
Tersenyum saya mendengar kata-kata itu. Ternyata pelatih sudah percaya pada saya. Sebuah motivasi layaknya angin yang menyentuh raga di musim kemarau.
***
Hari itu datang juga, satu demi satu setiap ekstrakurikuler menampilkan performa terbaiknya didepan khalayak ramai. Di depan para guru dan murid dari berbagai tingkat. Suasana tegang semakin meliputi mental saya. Hingga tiba giliran esktrakurikuler Pencak Silat diminta untuk masuk lapangan dan beraksi!
Teman-teman yang lain, satu persatu menunjukkan keterampilannya dalam berpencak-silat. Dimulai dari gerakan sederhana sebuah Pencak Silat, transfer energi, dan pemecahan batu batu dan genteng. Saya lihat yang menyaksikan saat itu sangat terpesona dan terpukau dengan keahlian rekan-rekan saya itu.
Hingga, tibalah giliran saya sendiri yang harus melakukan aksi. Dengan perlahan saya maju ke tengah-tengah lapangan. Disana sudah terpasang melintang besi-kikir yang disangga oleh dua kayu. Seorang pelatih mendampingi dan siap untuk segera membakar besi-kikir tersebut. Sejenak saya berusaha berpikir sesadar-sadarnya.
“Siap ?!” pelatih memastikan kesiapan saya.
Saya pasang posisi kuda-kuda menghadapi besi-kikir itu. Beberapa gerakan awal saya tunjukkan. Dihadapan saya juga sekilas terlihat beberapa teman sedang focus memperhatikan. Diantaranya juga ada yang sebenarnya anggota ekstrakurikuler Pencak Silat ini. Hanya saja mereka mundur tanpa berita dan tak pernah berlatih lagi.
Saya anggukan kepala pada pelatih pertanda kesiapan. Pelatih segera membakar besi-kikir itu hingga terlihatlah jilatan api berwarna biru yang berkobar dihadapan. Masih ingat dalam ingatan, tiba-tiba api membesar. Ada rasa kaget, hingga tanpa pikir panjang kuayunkan tangan ini menghantam besi-kikir itu. Ada sedikit rasa panas menerpa kulit lengan. Ouchh…!
Tapi syukurlah, dalam satu detik ada suara besi yang hancur menyentuh lantai lapangan dan diiringi hembusan api ke udara yang hampir-hampir menerpa wajah. Ya, saya berhasil!
Suara riuh rendah tepuk tangan menggema dilapangan saat itu. Beberapa teriakkan juga terdengar hingga ke telinga. Itu pengalaman yang luar biasa yang belum pernah saya rasakan. Ada kebanggaan tersendiri yang dicapai. Setelah itu beberapa orang memuji penampilan saya saat itu. Senang juga sih. Tapi mereka rasanya tidak tahu.
Mereka tidak tahu sih cerita dibalik semuanya itu. Mereka pikir kemenangannya terjadi hari itu, di lapangan, di depan khalayak ramai. Padahal kemenangannya terjadi berhari-hari lalu, bahkan berbulan-bulan sebelumnya, dalam benak saya, ketika saya memutuskan untuk menghadapi ketakutan saya, saya berjuang, melakukan prosesnya, meluangkan waktu lebih, tidak tanggung-tanggung, dan mengerahkan seluruh kemampuan maksimal saya.
Saya ingat kata-kata yang saya dapat dari sebuah buku motivasi, “sebelum kamu bisa menang dalam kehidupan bermasyarakat, kamu harus menang dulu dalam pergumulan batin. Suatu hari kamu akan mengerti bahwa perubahan yang baik dimulai dari perubahan dirimu sendiri”.
Hmm … Itu !***
great,,,ketika yakin kita bisa dan tidak mnyerah, insyaallah pasti bisa ^_^.
BalasHapusthank you ... senang bisa dikunjungiMeutia. (:
BalasHapusCakeeeeeeep. Pantas kalau ke ruanganku kau hobi nendang kaki kursiku. Hahahaha...ternyata patah juga tuh kuku. Wakakakak
BalasHapushahaha.. tampaknya memang kesaktiannya agak luntur.. T_T
BalasHapuswah,,,wah,,siap2 ne,,kopdar ke 2 hiburanx pencak silat ti knag'Aan we lah..biar tambah rame....
BalasHapusha..ha..ha....ngakak aja ngelihat comment si qefy. Oh y, kemarin kan teh asil ngajuin biaya pembobolan ruangan IM dan pemasangan AC tuh. Nah, daripada bayar tukang, bagaiman klo pak an saja yang membobolnya????ha...ha....
BalasHapusJude -> Ah, ogah! Secara gak ada bayarannya.. :P
BalasHapusPatmah -> Hooo... siap! Tapi harus bertapa dulu untuk mengembalikan kekuatan yang kini mulai pudar. Hehe
inspiratif ne postingnya, memang gak ada yang bisa kita dapatkan secara instan..... semua butuh proses .....
BalasHapusTerima kasih atas kunjungan dan komentar-nya kang Ridwan..
BalasHapusDahsyat! ^_^
besok kalo ketemuan bloofer aq bawain kikir aah....heheheee...
BalasHapusminta yang rasa coklat yang NIT NOT.. :P
BalasHapusnice posting, postingan yang berkaitan dengan motivasi, i like it. rasa takut yang ada dalam diri kita, sebenarnya adalah media yang bisa medatangkan keberanian. ketika kita telah(menaklukkan) rasa takut itu, sebenarnya kita telah mampu mengolah rasa itu menjadi kekuatan..
BalasHapusterima kasih kang Zico :)
BalasHapusmemang demikian kang, yang namanya kekuatan juga muncul karena ada rasa takut dalam diri kita.
saat kita berhasil melalui itu semua, kita jadi kuat.
saya baru tau pak Aan bisa karate, apalagi tendang menendang, dengan bisa mengalahkan rasa takut kita, pasti kita mempunyai keberanian, dan karena yakin kita bisa.. nice pak aAn
BalasHapuspenuh motivasi ya...
BalasHapussaya pasti juga bisa!
semangaaattt...!!!
Bang Aul: halah.. saya ikutan pencak silat bang, bukan karate! -_-" hehe..
BalasHapusBung Iwan: Insya Allah, pasti bisa Bung! Tetap semangat! :)