-- Penulis : Aan Sopiyan --
Pikiran tentang peran ‘tradisional’ perempuan sebagai ibu rumah tangga dan mengurus anak hampir-hampir pupus dalam benak para kaum hawa. Padahal, menjadi ibu rumah tangga dan juga pengurus anak adalah peran yang paling membanggakan dalam sejarah ummat manusia. Mengapa? Karena salah satu yang luar biasa dari seorang perempuan adalah, ia diberikan kesempatan merasakan “penciptaan” dalam dirinya, melahirkan manusia, dan tulang punggung kemuliaan kehidupan. Dan, semua itu terangkum dalam satu profesi, dimana tak ada satu lelaki pun yang mampu menempati posisi tersebut, itulah IBU.
Umar bin Khattab pernah ditanya oleh seorang anak yang begitu berbakti pada ibunya, “Apakah pengabdianku sudah cukup untuk membalas budi ibuku?”. Lalu Umar pun menjawab, “Tidak! Tidak cukup! Karena kamu melakukannya sembari menunggu kematiannya, sementara ibumu merawatmu sembari mengharap kehidupanmu.”
Saya sangat mafhum ketika seorang ibu menatap anaknya yang sedang tidur lelap, dalam hatinya ia berkata: itu darahnya, itu ruhnya, bahkan itu adalah hidup dan matinya! Lantas, bagaimana hati seorang ibu melihat anak-anaknya tumbuh?
Bayangkan ketika tabungan seorang anak yang usia 5 tahun mulai menumpuk, “Mau untuk apa nak tabungannya?”. Mata rasanya haru ketika anak menjawab “Mau buat beli mushaf Al-Qur’an, bu!” atau “Buat bantu temen adek sekolah, bu!” padahal anak-anak lain kebanyakan akan menjawab “Mau buat beli video game saja!” Atau ketika ditanya tentang cita-cita, “Adek pengen jadi ulama.” Haru! mendengar jawaban ini dari seorang anak tatkala anak-anak seusianya bermimpi “pengen jadi Power Rangger!”.
Butuh seorang pendidik yang ulet dan telaten untuk membentuk jiwa anak seperti itu. Tekad yang kuat dalam menjalani fungsi seorang ibu dan bersungguh-sungguh mengajarkan akhlak yang baik pada anaknya. Seorang yang sabar untuk setiap hari menempa dengan dibekali ilmu yang kuat. Penuh dengan tawakal dan bergantung pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lalu… jika seperti ini, bisakah kita begitu saja menitipkannya pada pembantu atau pengasuh anak, kemudian membiarkan anak tumbuh begitu saja?
***
Barangkali nilai-nilai emansipasi di Indonesia selalu tak bisa dilepaskan dari sosok R.A. Kartini. Door Duisternis tot Licht, Mr. J.H. Abendanon menerbitkan dan memberi judul buku terhadap kumpulan surat-surat yang pernah dikirimkan Kartini kepada teman-temannya di Eropa. Dan rupa-rupanya terlanjur membumi ditelinga kita yang diartikan sebagai Habis Gelap Terbitlah Terang.
Padahal arti secara harfiahnya “dari kegelapan menuju cahaya”. Sebagian dari kita mungkin tak asing mendengar kalimat itu. Kalau kita terjemahkan ke dalam bahasa Arab maka bunyinya Minadz-Dzulumati Ilan-Nur. Sama dengan apa yang tercantum dalam dalam Q.S. Al Baqoroh ayat 257.
Jika kita membaca kisah Kartini nampak memang seperti kisah roman kemanusiaan. Pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi tertuang dalam surat-suratnya. Sebagian besar berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Terlepas dari berbagai kontroversi yang meliputi Kartini, mari kita pandang bahwa Kartini pun adalah seorang wanita yang memiliki cita-cita tinggi untuk membangun kaumnya, untuk memajukan bangsanya.
***
Muncul persepsi wanita Indonesia bahwa kebangkitan wanita perlu dilakukan dan ditingkatkan dengan menggunakan nama Kartini. Namun, seyogyanya wanita Indonesia tidak salah kaprah dalam mengartikan perjuangan Kartini. Berusaha menyaingi laki-laki dalam berbagai hal, yang kadangkala sampai di luar batas kodrat mereka sebagai wanita.
Perjuangan wanita tidak bisa dilepaskan dari perjuangan dengan laki-laki untuk kebangkitan ummat manusia yang hakiki, dan masyarakat madani. Karena untuk mewujudkan masyarakat madani, di dalam masyarakat itu terdiri dari laki-laki dan perempuan, mengharuskannya berjuang bersama-sama, tidak terpisah-pisah dan bersaing satu sama lain.
Indonesia adalah salah satu tempat untuk mewujudkan terjadinya kebangkitan ummat yang hakiki, dengan didasarkan kepada apa yang diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW. Sehingga menjadi suatu hal yang penting, muslimah bersama dengan laki-laki muslim bergerak dalam satu gerakan, yang memilik kejelasan pemahaman tentang pemikiran-pemikiran Islam (fikrah) dan metode (thariqah) untuk mewujudkan kebangkitan ummat yang hakiki yaitu kebangkitan Islam untuk diterapkan hukum-hukum Allah di muka bumi ini.
Selain itu, aktivitas muslimah untuk terlibat mewujudkan kebangkitan yang hakiki jangan sampai meninggalkan kodratnya sebagai wanita dan fungsi utamanya sebagai ummun wa robbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga). Disinilah dituntut bagi muslimah, untuk mampu mengatur diri dan melaksanakan konsep aulawiyyat (prioritas) dalam aktivitasnya, sehingga tidak membawa kemudhorotan bagi diri, keluarga, masyarakat dan negaranya.
“Kesusahan kami hanya dapat kami keluhkan kepada Allah, tidak ada yang dapat membantu kami dan hanya Dialah yang dapat menyembuhkannya.” – (Ditujukan kepada Abendanon, 1 Agustus 1903).
“Ingin benar, saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu: hamba Allah (Abdullah)” - (ditujukan kepada Nyonya Abendanon, 1 Agustus 1903).
Berbagai sumber.
Tulisan ini diposting juga di :
keren tulisannya.....mengutamakan prioritas...
BalasHapusTerima kasih Jeng Patmah :)
BalasHapuslike this mas..berbobot....^__^
BalasHapusq blom bikiiinnn...q gag usah yaaa......hahaa^_=
Ayo Nick, kamu bisa! :D
BalasHapusBersama-sama, pria dan wanita, muslim dan muslimah, menegakkan nilai-nilai suci kehidupan dari Tuhan.
BalasHapus