Hidup memang kadang-kadang terasa begitu cepat. Sayangnya juga terkadang begitu sangat melelahkan. Kita penat, jenuh, suntuk, bosan, malas, ah... dan masih banyak lagi hal yang begitu memuakkan! Bagaimana tidak, idealisme tentang diri ini yang sering digadang-gadangkan kenyataanya tak sesuai dengan realitas yang ada. Hidup menawarkan banyak pilihan. Namun tak semua pilihan itu selaras dengan siapa diri kita, dengan apa yang kita inginkan.
Saat banyak orang ingin bicara ini dan itu tapi justru kita ingin diam. Atau saat orang-orang beramai-ramai mengatakan “Iya” padahal kita ingin berkata “TIDAK!” tapi dengan kelunya lidah ini kita tak bisa berbuat sesuai apa yang kita inginkan. Sakit? Sakit memang. Lantas, apa yang harus kita lakukan?
Jika tanpa terasa idealisme kita tergeser lantaran pikiran kita terbawa arus yang kita tidak menyadarinya. Belum lagi kondisi jiwa kita yang terus bergejolak mempengaruhi pikiran kita. Dalih kita, “Ya memang, begitulah kehidupan.” Kehidupan memang meletihkan. Kita jadi tidak peduli dengan situasi dan kondisi. Lelah, itulah yang sering kita rasakan. Kita jadi sering merasakan kejenuhan. Wajarkah? Sangat wajar.
Tapi yang harus kita ingat, gelombang dan badai itu harus dipahami sebagai ladang ujian. Problematika hidup merupakan hal tidak bisa dipisahkan dari hidup. Pahit-getir menjadi bumbu yang harus dirasakan oleh setiap kita. Jatuh-bangun adalah tangga yang harus dilalui dalam menggapai sebuah cita-cita. Jangan pernah ada perasaan pesimis apalagi putus asa karena di balik semua itu pasti ada sesuatu yang dapat kita jadikan pengalaman yang berarti.
Lalu yang kita perlukan adalah berhenti sejenak. Berhenti ini tentu saja bukan berarti selesai atau sampai di sini. Ini untuk menjaga ketajaman diri kita agar bisa menangani masalah hidup dengan lebih baik. Nah, bayangkan kita sedang jalan-jalan ke hutan dan bertemu dengan seseorang yang sedang mati-matian memotong pohon.
“Sedang ngapain?” kamu tanya.
“Menggergaji pohon,” jawabnya.
“Sudah berapa lama kamu menggergaji?”
“Empat jam, tetapi banyak kemajuan kok,” katanya, dengan keringat menetes dari dagunya.
“Rasanya gergajinya sudah tumpul,” katamu. “Mengapa tidak istirahat dulu sambil mengasahnya?”
“Mana mungkin, tolol. Aku sedang sibuk menggergaji.”
Akhirnya kita semua tahu siapa yang tolol, bukan?
Akhirnya kita semua tahu siapa yang tolol, bukan?
Intinya, kita butuh waktu untuk melihat kondisi kita. Kita terkadang lupa bahwa ada yang harus kita tengok dalam diri kita, Ruhiyah kita. Tentang nilai tertinggi dalam diri kita. Tentang kepercayaan atau keyakinan, inilah tentang keimanan. Kondisi yang selalu membutuhkan suasana yang teduh, tenang sehingga ia menjadi kekuatan yang akan melindungi jiwa kita dari berbagai rintangan dan halangan. Kita butuh ketegaran jiwa dalam menghadapi hiruk-pikuk kehidupan. Barangkali yang paling tepat adalah seperti yang senantiasa diajarkan oleh Muadz bin Jabal ra, kepada sahabatnya dengan ungkapannya yang menyejukkan hati mereka, “Mari (kita) duduk sesaat untuk beriman.”
kita butuh duduk sejenak untuk bisa bermuhasabah ttg ruhiyah dan hati kita..duduk sejenak melepaskan atribut kegiatan-kegiatan dunia yg terkadang dapat mengabaikan sisi ruhiyahl kita..
BalasHapusIya.. itu pula yg coba saya angkat di tulisan ini. Terima kasih kak Tia. :)
BalasHapusDan sayapun pernah mengalami dilema yang sama...Semngat...Salam Kenal..
BalasHapuscerdas :)
BalasHapusduduk sejenak (jempol ^_^)untuk befikir apakah yang kita lakukan sudah benar atau justru tidak.
meskipun catatan lama, namun punya seribu alasan untuk disimpan
huhuhuu....nice banget mas Aan...aku sampai tertegun...termangu...dan terdia beberapa jenak membaca note mu...indah...penting..dan berguna...
BalasHapusterkadang kita terlalu lelah menjadikan diri kita persembahan bagi bumi manusia..dan kita melupakan sebuah karakter bumi itu sendiri utk tunduk dan kembali pada fitrah dan ruhani...
aku sukaaaaa...pokoknya note mu ini bikin aku ingin duduk sejenak stelah lelah berlari dan berkejaran dg waktu...^__^
*makasih mas Aan...bunch of thanks special for u...
Teh Nenny: Iya salam kenal juga teh.. Wah, dilema kenapa teh?? :D
BalasHapustulisan yg sangat baguss....
BalasHapussmoga kita tidak termasuk spt sang penggergaji kayu....
Kang Nihayatuzzin: Wih.. makasih, makasih kang.. Catatan lama itu rasa2nya akan selalu baru kalau kita mau sedikit saja membukanya. :)
BalasHapusDiajeng Nick Salsabiila: Berhenti sejenak atau duduk sejenak itu juga sebuah kemajuan kan.. Yupe, aku pun ingin berterima kasih untukmu. :)
BalasHapusBunda Azka: Terima kasih Bunda,, Tulisan bunda juga sangat bagus. Bahkan jadi salah satu inspirasiku. :)
BalasHapussebuah tausiyah dari ustadz aan...makasih ya ustadzh... :D
BalasHapusWaduh.. si aku dipanggil ustadz. Jadi malu ekeu.. :D
BalasHapus"Stiap wktu yg kmu miliki,lakukan sedikit relaksasi, karena ketika kau kembali ke pekerjaan itu, maka penilaianmu akn lebih tajam dan baik" (leonardo da vinci)
BalasHapusNice post,an..:)
Membaca tulisan yg sperti ini pun slah satu tindak "duduk sejenak" dr tulis menulis..hehehe
Phipi, makasih ya. Mudah2an duduk sejenaknya Phipi itu semakin membuat pena-pena Phipi semakin tajam, setajam silet.. hehe. :D
BalasHapusRealitanya..kita manusia memang butuh waktu untuk istirahat dari rutinitas kita..tp di balik itu kita juga butuh waktu sejenak untuk berkhidmat..berkomunikasi dg jiwa kita, gunanya untuk introspeksi diri atas apa2 yg telah kita lewati..hmm postinganmu bagus buanget sob..dalam x kali pengertiannya..than's ya..salam
BalasHapusPutri Omsima: Mudah2an bermanfaat ya tulisannya. Sama2, terima kasih pula sudah mau berkunjung. :D
BalasHapusPas betul dengan tema bulan ini .. sejenak beristirahat, bisa dilakukan sambil duduk, sambil tidur, bahkan sambil mengasah gergaji.
BalasHapusDunia penulisan juga perlu istirahat, dunia persahabatan juga perlu istirahat .. bukan karena lelah, tetapi untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya
Nice post, trims An ^_^
Bu Ani: Iya bener sekali bu.. Toh, dalam hidup memang selalu ada kondisi dimana kita harus men-charge diri..
BalasHapusMakasih kunjungannya bu Ani. ^__^