31 Mar 2011

25-Mar-11 Midnite

25-Mar-11 Midnite by Mr-Aan
25-Mar-11 Midnite, a photo by Mr-Aan on Flickr.
Tadinya mau datang ke pengajiannya ust. Aam ^_^ ... Udah ngebela-belain hujan-hujanan, tapi apa di kata, tak ada yang tahu tempat pasti pengajiannya. Di daerah sekitar Buah Batu, Bandung, kita keliling.. semakin larut, semakin malam.. akhirnya, kita photo-photoan aja deh..

Kalau ini photo pake HP-nya pak De.. di depan kantor RMI, Jalan Martanegara..

Smile aja deh... ^_^v

29 Mar 2011

Cangkir & Kopi

Barangkali memang rencana Allah itu seringkali kita bahasakan sebagai sebuah kebetulan oleh para manusia. Saat kita tahu semua yang terjadi serba berkorelasi, saling terkait antara satu kejadian dengan kejadian lain hingga membuat kita heran dan berujar, "wah, kebetulan sekali!" atau, "Lho, kok bisa, ya?", dan lain sebagainya.

Ungkapan atau kata-kata yang seringkali terucap dalam keseharian kita itu, hingga kita diakhir kejadiannya sadar saat segala sesuatu yang terjadi ternyata begitu menakjubkan dan begitu sempurna kejadiannya. Ya, itulah ketetapan Allah. Allah memberi kita segala hal yang seringkali diluar nalar manusia dan begitu saja tanpa pernah kita tahu benar bagaimana untaian kejadiannya. Bagi manusia yang beruntung, mereka bisa mengambil setiap hikmah dan menjadikan sebuah pembelajaran yang tiada batasnya.

Contoh kecil yang tadi pagi saya alami adalah tentang satu gelas kopi. (Aduh, tidak biasanya pagi-pagi aktifitas kerja saya ditemani satu gelas kopi!) Lantas, terbersit deh sedikit uneg-uneg tentang apa makna dari satu gelas kopi itu.

"Hmmm.. apa ya?", pikiran saya melayang bertanya-tanya.

Lalu, secara "kebetulan" (dalam tanda kutip ya) saya buka-buka email dan melihat inbox email. Disalah satu milist ada artikel yang ...

Aha! Ada artikel yang sudah Allah siapkan sebagai "kebetulan" atas pertanyaan saya tadi itu. Artikel ini saya dapat sudah lama sekali sebenarnya. Tapi tampaknya Allah tahu benar kapan saat yang tepat saya harus membacanya. Well, barangkali bermanfaat bagi kamu yang baca tulisan saya ini, saya tulis ulang artikelnya. Tulisan tentang "Cangkir dan Kopi". Semoga bermanfaat, semoga ada hikmahnya... ^_^
***

Cangkir & Kopi

Dalam sebuah acara reuni, beberapa alumni Univesitas Barkeley-California menjumpai dosen kampus mereka dulu. Melihat para alumni tersebut ramai-ramai membicarakan kesuksesan mereka, profesor tersebut segera ke dapur dan mengambil seteko kopi panas dan beberapa cangkir kopi yang berbeda-beda.

Mulai dari cangkir yang terbuat dari kristal, kaca, melamin dan plastik. Profesor tersebut menyuruh para alumni untuk mengambil cangkir & mengisinya dengan kopi.

Setelah masing-masing alumni sudah mengisi cangkirnya dengan kopi, profesor tersebut berkata, "Perhatikanlah bahwa kalian semua memilih cangkir-cangkir yang bagus dan kini yang tersisa hanyalah cangkir-cangkir yang murah dan tidak menarik".

"Memilih hal yang terbaik adalah wajar & manusiawi, namun persoalannya, ketika kalian tidak mendapatkan cangkir. Otomatis melihat cangkir yang dipegang orang lain & mulai membandingkan cangkir kalian. Pikiran kalian terfokus pada cangkir, padahal yang kalian nikmati bukanlah cangkirnya melainkan kopinya".

Hidup kita seperti kopi dalam analogi tersebut di atas, sedangkan cangkirnya adalah pekerjaan, jabatan, dan harta benda yang kita miliki. Pesan moralnya, jangan pernah membiarkan cangkir mempengaruhi kopi yang kita nikmati. CANGKIR bukanlah yang utama, kualitas kopi itulah yg terpenting.

Jangan berpikir bahwa kekayaan yang melimpah, karier yang bagus & pekerjaan yg mapan merupakan jaminan kebahagian. Itu konsep yang sangat keliru. Kualitas hidup kita ditentukan oleh "Apa yg ada di dalam"  bukan "Apa yg kelihatan dari luar". Apa gunanya kita memiliki segalanya, namun kita tdk pernah merasakn damai, sukacita, dan kebahagian di dalam kehidupan kita? Itu sangat menyedihkan, karena itu sama seperti kita menikmati kopi basi yang disajikan di sebuah cangkir kristal yang mewah dan mahal.

"Kunci menikmati kopi bukanlah seberapa bagus cangkirnya, tetapi seberapa bagus kualitas kopinya."(*)

24 Mar 2011

Looking for Someone

Untitled by TRACS Indonesia
Untitled, a photo by TRACS Indonesia on Flickr.

Ada sesak dalam dada saat kau pergi. Rasanya seperti ada yang meremas jantungku, ada sesuatu yang jatuh dan luruh, saat langkahmu kian menjauh meninggal aku. Sosok yang semakin mengecil dan makin menghilang, membuat ragaku seperti kehilangan jiwanya. Kau kini pergi, menghempasku ke atas batu karang yang tajam dan terjal.

***

Sulit untuk melukiskan atau menuliskan saat-saat kenangan kami. Kau dan aku bahagia, menderita, tertawa, menangis, suka dan duka kami alami bersama.

Sembunyi-sembunyi kami bermain bersama. Melalui jalan setapak persawahan, lalu kami menemukan jatuhan air dari gunung. Berbincang-bincang tentang hari-hari kami yang telah dijalani, yang telah dilalui.

Sedikit demi sedikit mengeluarkan rahasia-rahasia terpendam di relung-relung nurani kami serta saling mengadukan keluh tentang derita nestapa kami, mencoba menghibur diri dengan harapan-harapan khayal dan mimpi-mimpi yang penuh duka. Sesekali kami menjadi tenang dan mengusapi air mata kami dan mulai tersenyum, melupakan segalanya kecuali cinta. – Khahlil Gibran

17 Mar 2011

In My Diary #1

Setiap Dalam Kesendirian

Setiap dalam kesendirian
Aku termenung akan masa lalu
Terasa bahwa waktu
Tak pernah berputar balik
Andai ...
Aku kembali pada saat itu
Akan kukumpulkan
Segenap kekuatan
Segenap tenaga
Untuk menjaga dirimu
Tapi...
Cukuplah itu berlalu
Saat ini saja yang ada
Yang kupunya
Biarlah...
Masa yang lalu itu
Jadi sebuah renungan
Masa depan tetap menjadi tujuan
Tuk bertemu dengan-Mu
Ya, dengan-Mu
Tak sekadar denganmu 

 ***

Tak Ada Roman

Mengenangmu seolah tak ada habisnya.
Bukankah kita sudah berpencar jauh sejak bertahun-tahun lalu?
Tapi kenyataannya jejakmu tak lenyap begitu saja.
Ah, padahal ku tak pernah tahu.
Apakah ada jejakku dalam kehidupanmu?


Aku punya cerita dan kau pun begitu.
Dan marilah kita berkisah pada diri sendiri.
Sejenak melupakan roman dahulu tentang kita.
Hmm... tak pantas kukatakan itu roman.
Mungkin memang tak pernah ada roman.
Tak pernah ada roman.

Wahai hati, benarkah tak ada roman?

***

Takut Kehilangan

Untuk kesekian kalinya aku merasa lenyap
Tak terlihat bahkan oleh yang terdekat
Dan yang terikat
Kenapa semua diam seolah tanpa mengenal
Seolah telah terlupakan
Ketika rindu akan kenanangan lama
Ketika janji telah terucap dan tersampaikan
Walau diri dalam keraguan
Namun seolah tak berarti karena kau...
Ternyata bukan untukku
Bukan pilihanku...

Hati memang sakit, namun bukan karena itu
Tapi karena memang diriku sampai saat ini
Masih hanyut terbawa arus
Sungai jernih
Kan membawaku ke laut

Entah kenapa jiwa selalu ingin menepi pada daratan
Masuk ke hutan gelap
Yang kan membuatku menangis
Hutan yang penuh bunga namun sepi

Apakah benar sepi? Atau
Diriku yang sepi karena sendiri
Karena terdiam karena tak berdaya
Karena tak tahu karena tak menentu
Atau karena tak pernah menepi

Aku dalam kegundahan
Takut kehilangan...

***

14 Mar 2011

Mencoba dan Melakukan


From Google
Saya membaca sebuah dialog yang baik sekali yang saya dapatkan dari salah satu buku kesukaan saya The 7 Habits of Highly Effective Teens yakni sebuah kisah tentang seorang kapten dan seorang letnan:

“Letnan, tolong kirimkan surat ini dong”.
“Akan saya lakukan sebisa saya, pak!”.
“Jangan, saya tidak mau kamu melakukan sebisamu. Saya mau kamu kirimkan surat ini”.
“Akan saya lakukan, kalau tidak saya mati, pak”.
“Kamu salah mengerti, letnan. Saya tidak mau kamu mati. Saya mau kamu kirim surat ini”.
Akhirnya sang letnan paham dan berkata, “Akan saya lakukan pak”.

***

Coba deh kita pikirkan baik-baik dalam kehidupan kita. Bahwa adakalanya di mana kita berkata, “Akan saya coba” atau adakalanya juga kita harus berkata, “Akan saya lakukan”. Bagaimanakah perasaanmu jika kamu berkata pada calon istri atau suami tentang apakah dia sudah siap menikah denganmu, lalu dia menjawab, “Baiklah, akan saya coba”? Tentu saja, itu akan terdengar aneh. (Setidaknya, bagi saya itu aneh).

Mencoba dan melakukan adalah hal yang berbeda. Saat kita mencoba suatu hal maka masih ada alasan bagi kita untuk tidak “melakukan” hal tersebut. Tapi saat kita melakukan suatu hal, di sana sudah tidak ada alasan lagi bahwa kita tidak melakukannya.

Sebenarnya, baik itu mencoba atau melakukan, itu sama-sama “melakukan”. Perbedaannya barangkali hanya ada pada perasaan kita sendiri. Kita sendiri khan yang tahu apa itu rasa manis atau rasa pahit. Kita juga bisa mengkategorikan tindakan-tindakan kita tentang mana yang masuk kategori mencoba dan mana yang masuk kategori melakukan. Ya, walau kita sendiri sulit untuk mendefinisikan yang mana mencoba dan yang mana melakukan. Sama seperti rasa manis, kita hanya tahu rasanya, tidak pernah tahu dengan pasti apa definisinya.

Bagi saya sendiri, saya tuh akan mencoba suatu hal jika hal tersebut tidak berdampak buruk (jika pun ada dampak buruknya, tidak terlalu besar dampaknya) dan ada unsur “untung-untungan”. Sedangkan saat saya akan melakukan suatu hal maka itu sudah masuk pada ranah keyakinan. Saya melakukan jika itu adalah baik dan benar, tidak melakukan jika nyata-nyatanya adalah kesalahan.

Idealnya dalam melakukan suatu hal, seharusnya memang kita berpijak pada apa yang baik dan benar. Kemudian, tidak melakukan jika memang itu pada kenyataannya adalah kesalahan. Walau, dalam kehidupan kadangkala yang namanya baik dan benar itu terlihat bias dalam pandangan kita. Oleh karena itu, kita harus mau terus belajar dan senantiasa memperbaiki diri kita yang dhoif atau lemah ini dalam mencari kebaikan dan kebenaran. Lalu, sebagai seorang pembelajar ternyata kita harus berani mencoba juga. Nah, maka dari itu seperti yang tadi saya sampaikan bahwa sebenarnya, baik itu mencoba atau melakukan, itu sama-sama “melakukan”, khan?

Berbicara soal baik dan benar, istilah yang orantua kita dulu sering sampaikan adalah bahwa orang dewasa itu ditandai saat pemikirannya bisa membedakan mana yang baik (benar) dan mana yang buruk atau salah. Kecuali kamu memang menganggap dirimu masih kanak-kanak, abaikan saja nasehat tersebut. Memang ini klise, tapi seperti kebanyakan klise, biasanya ini benar. Itu barangkali mengapa hal itu menjadi klise, ya?

Nasehat yang agung berikut bisa menjelaskan tentang bagaimana kita bisa membedakan mana yang baik dan mana yang bukan:

Dari Nawwas bin Sam’an ra, dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “Kebaikan adalah akhlak yang baik, dan dosa adalah apa yang terasa mengganggu jiwamu dan engkau tidak suka jika diketahui manusia.” (HR. Muslim).

Dan dari Wabishah bin Ma’bad ra, dia berkata, “Saya mendatangi Rasulullah saw, lalu beliau bersabda, ‘Engkau datang untuk menanyakan kebaikan?’ Saya menjawab, ‘Ya’. Beliau bersabda, ‘Mintalah pendapat dari hatimu, kebaikan adalah apa yang jiwa dan hati tenang karenanya, dan dosa adalah apa yang terasa mengganggu jiwa dan menimbulkan keragu-raguan dalam dada, meskipun orang-orang memberi fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya.’” (Hadits hasan, kami riwayatkan dari dua musnad, Imam Ahmad bin Hanbal dan Darimi dengan sanad yang hasan)

Kuncinya ada pada hati dan jiwa kita. Maksudnya, ketika kita hendak mencoba atau melakukan sesuatu, coba perhatikan dahulu reaksi jiwa dan hati kita. Jika ia merasa tenang dan mantap, hendaklah kita melaksanankannya. Pikirkan dan renungkanlah baik-baik. Toh, apalah manisnya gula dalam mulut kita jika di hati kita menyimpan rasa pahit dan kegetiran. Ah, itu tidak akan mempermanis kita!***

10 Mar 2011

Kemenangan Dalam Diri


Cerita yang baik selalu mengandung perjuangan didalamnya. Cerita tentang apa pun atau siapa pun itu. Bahkan, bisa dikatakan, bila tanpa ada unsur perjuangan maka sesungguhnya tak ada cerita. Setiap orang tentunya punya cerita. Punya masalah yang harus diselesaikan, punya harapan yang harus diperjuangkan. Dan, saya tak pernah lupa bagaimana saya mendapatkan pelajaran berharga dalam hal ini. Hal dimana saya berjuang, bergulat dengan pergumulan batin.

Semasa SMA dahulu, saya mengikuti salah satu ekstrakurikuler Pencak Silat seni pernafasan. Masih teringat bagaimana awal-awal mengikuti latihan beladiri khas Indonesia ini, dimana saat itu lapangan sekolah penuh dengan para peserta baru yang hendak latihan. Banyaknya peminat ternyata membentuk rasa semangat tersendiri dalam mengikuti ekstrakurikuler ini.

Namun, sebagaimana umumnya orang-orang yang baru bergabung, pada dasarnya selalu menginginkan hal yang serba instant. Kebanyakan teman-teman saya yang lain, yang bergabung dengan ekstrakurikuler ini, saat itu berharap agar mereka langsung bisa pada beberapa tekhnik tertentu. (Sebenarnya terbersit juga dalam hati saya akan hal yang demikian).

Tapi kesadaran saya mencoba memahami bahwa segala sesuatu itu selalu membutuhkan perjuangan, proses, dan waktu yang lebih. Saya mencoba bertahan untuk terus latihan dan focus. Sementara di sisi lain beberapa teman sudah mulai berguguran, tak sabar menjalani proses latihan. Semakin hari rasanya lapangan terasa kosong. Awal latihan yang dimana lapangan dipenuhi peserta latihan, saat itu bila ada setengah lapangan saja yang terisi itu sudah membahagiakan.

Hal lain yang saya coba pahami adalah bahwa saya bergabung dan berlatih dengan ekstrakurikuler Pencak Silat ini bukanlah karena banyaknya peminat. Oleh sebab itu, meskipun lama kelamaan semakin sedikit yang ikut latihan, saya tetap bertahan.

Ada satu moment dimana setiap tahunnya, disekolah saya, diadakan demonstrasi ekstrakurikuler. Semua kegiatan ekstrakurikuler diwajibkan menampilkan performa atau aksi terbaik mereka, tanpa terkecuali ekstrakurikuler Pencak Silat.

Para pelatih saat itu membagi-bagi tugas tentang nanti siapa yang akan tampil. Ada yang akan kebagian menampilkan gerakan Pencak Silat perorangan, ada juga yang ber-regu. Selain itu, karena Pencak Silat ini adalah seni pernafasan maka ada juga penampilan “Transfer Energi” (kalau kamu pernah lihat seru banget lho!). Dan, yang paling seru adalah aksi pemecahan barang seperti pemecahan batu bata, genteng, dan besi-kikir. Pemecahan dilakukan dengan tangan, punggung, serta kepala terbuka.

Saya sendiri mendapat jatah untuk melakukan aksi pemecahan besi-kikir (semoga terbayang oleh kamu!). Itu akan menjadi klimaks penampilan kami nanti. Selain itu, tantangannya ialah pelatih meminta saya untuk memecahkan besi-kikir itu tidak dengan begitu saja, akan tetapi besi-kikir akan dalam keadaan terbakar api.

Sebelumnya saya sendiri belum pernah mencoba hal tersebut. Nanti itu akan menjadi percobaan sekaligus penampilan pertama selama saya bergabung dengan ekstrakurikuler Pencak Silat ini.

Satu bulan sebelum acara demonstrasi ekstrakurikuler rasa tegang sudah menerpa. Rasa tidak yakin dan tidak percaya bergulir dalam benak hampir setiap harinya. Semaksimal mungkin saya latihan sesuai saran dari pelatih. Saya korbankan waktu untuk terus berlatih dan memperkuat tekhnik dalam pemecahan barang. Beberapa teman terus memotivasi. Tapi tak jarang beberapa orang juga merasa sama tak-yakinnya dengan saya. Ah, rasanya ingin mengundurkan diri saja …

Salah seorang pelatih pernah bilang, “kalau pelatih sudah menunjuk agar kamu melakukan hal tersebut, maka itu sudah merupakan keputusan matang bahwa kamu mampu. Yakinlah..!”.

Tersenyum saya mendengar kata-kata itu. Ternyata pelatih sudah percaya pada saya. Sebuah motivasi layaknya angin yang menyentuh raga di musim kemarau.

***

Hari itu datang juga, satu demi satu setiap ekstrakurikuler menampilkan performa terbaiknya didepan khalayak ramai. Di depan para guru dan murid dari berbagai tingkat. Suasana tegang semakin meliputi mental saya. Hingga tiba giliran esktrakurikuler Pencak Silat diminta untuk masuk lapangan dan beraksi!

Teman-teman yang lain, satu persatu menunjukkan keterampilannya dalam berpencak-silat. Dimulai dari gerakan sederhana sebuah Pencak Silat, transfer energi, dan pemecahan batu batu dan genteng. Saya lihat yang menyaksikan saat itu sangat terpesona dan terpukau dengan keahlian rekan-rekan saya itu.

Hingga, tibalah giliran saya sendiri yang harus melakukan aksi. Dengan perlahan saya maju ke tengah-tengah lapangan. Disana sudah terpasang melintang besi-kikir yang disangga oleh dua kayu. Seorang pelatih mendampingi dan siap untuk segera membakar besi-kikir tersebut. Sejenak saya berusaha berpikir sesadar-sadarnya.

“Siap ?!” pelatih memastikan kesiapan saya.

Saya pasang posisi kuda-kuda menghadapi besi-kikir itu. Beberapa gerakan awal saya tunjukkan. Dihadapan saya juga sekilas terlihat beberapa teman sedang focus memperhatikan. Diantaranya juga ada yang sebenarnya anggota ekstrakurikuler Pencak Silat ini. Hanya saja mereka mundur tanpa berita dan tak pernah berlatih lagi.

Saya anggukan kepala pada pelatih pertanda kesiapan. Pelatih segera membakar besi-kikir itu hingga terlihatlah jilatan api berwarna biru yang berkobar dihadapan. Masih ingat dalam ingatan, tiba-tiba api membesar. Ada rasa kaget, hingga tanpa pikir panjang kuayunkan tangan ini menghantam besi-kikir itu. Ada sedikit rasa panas menerpa kulit lengan. Ouchh…!

Tapi syukurlah, dalam satu detik ada suara besi yang hancur menyentuh lantai lapangan dan diiringi hembusan api ke udara yang hampir-hampir menerpa wajah. Ya, saya berhasil!

Suara riuh rendah tepuk tangan menggema dilapangan saat itu. Beberapa teriakkan juga terdengar hingga ke telinga. Itu pengalaman yang luar biasa yang belum pernah saya rasakan. Ada kebanggaan tersendiri yang dicapai. Setelah itu beberapa orang memuji penampilan saya saat itu. Senang juga sih. Tapi mereka rasanya tidak tahu.

Mereka tidak tahu sih cerita dibalik semuanya itu. Mereka pikir kemenangannya terjadi hari itu, di lapangan, di depan khalayak ramai. Padahal kemenangannya terjadi berhari-hari lalu, bahkan berbulan-bulan sebelumnya, dalam benak saya, ketika saya memutuskan untuk menghadapi ketakutan saya, saya berjuang, melakukan prosesnya, meluangkan waktu lebih, tidak tanggung-tanggung, dan mengerahkan seluruh kemampuan maksimal saya.

Saya ingat kata-kata yang saya dapat dari sebuah buku motivasi, “sebelum kamu bisa menang dalam kehidupan bermasyarakat, kamu harus menang dulu dalam pergumulan batin. Suatu hari kamu akan mengerti bahwa perubahan yang baik dimulai dari perubahan dirimu sendiri”.


Hmm … Itu !***


Google

1 Mar 2011

[Puisi] Go Away!

Biarkan kini ku sendiri
Berdiam diri berpasrah menepi
Meratapi, mencoba menghindari rasa peri. Sakit sekali!

Ah, malam lagi
Sudah lama aku tahu malam ini gulita sekali.

Pagi kembali...
Tapi biarlah...

Biarkan saja tetap demikian adanya
Karena kuingin bercerita
Ini khan memang duniaku juga?
Dunia yang tanpa sendumu
Ya, tanpa kamu...

Boleh khan aku tertawa? Tentu saja.
Bersenda gurau
Tapi bukan dengan dirimu
Dengan diriku saja!

Katamu aku bebas berarah kemana saja
Kamu sudah bohong!

Kamu menyakitiku...
Sekarang dimana kamu? Jawab!

Dimana kamu…
Ah, hampir saja hati ini mati karenamu

Lebih baik kau pergi saja!
Pergilah dirimu jauh... jauh sekali.

Pergi sana..!