27 Agu 2013

Besar Kecil Jauh Dekat

Ditulis oleh Samuel Mulia. Terbit di Kompas, 25 Agustus 2013.

Di bawah ini ada dua pengalaman saya selama menggunakan taksi sebagai alat transportasi sehari-hari. Selain saya bisa menilai mereka, yang kena getah dari reaksi mereka itu, serta yang mampu mencerahkan batin, yaa… siapa lagi kalau bukan saya.

Ke ”airport” atau ke Blok M?

Saya sedang menunggu taksi dan mendapat giliran pertama. Penumpang yang mendapat giliran nomor dua ada dua orang. Mereka akan pergi ke lapangan terbang. Saya menunggu di lobi, sedangkan kedua mbak-mbak itu berdiri menunggu di luar lobi, tepat di area orang menurunkan dan menaikkan penumpang.

Tak lama setelah itu, taksi yang dinanti tiba. Karena keduanya berdiri di depan, si sopir taksi merasa bahwa penumpang yang akan masuk adalah mereka. Dugaannya salah karena ternyata saya yang mendapat giliran pertama.

Maka, ketika saya telah duduk di dalam taksi, ia mengeluh karena ia seperti kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pemasukan yang lebih banyak ketimbang mengantar saya yang hanya hendak pergi ke daerah Blok M.

Melihat gelagatnya itu, saya langsung berkomentar. ”Mas, kalau Mas memang mau mengambil penumpang yang ke lapangan terbang, silakan saja. Saya nggak masalah kok.” Ia menggelengkan kepala, kemudian mengantar saya ke tempat tujuan. Sejujurnya saya sudah tak senang hati duduk sambil menyaksikan wajah manusia yang kecewa.

Di tengah hati yang kesal, saya kemudian berpikir. Sebetulnya saya ini juga tak jauh berbeda dengan pak sopir. Acap kali saya mudah kecewa kalau harapan akan sesuatu yang besar yang sudah begitu nyata di depan mata lenyap begitu saja. Misalnya, betapa yakinnya saya ketika proposal saya dianggap bagus dan klien terlihat menyetujuinya, tetapi sejuta kekecewaan langsung timbul ketika saya yang begitu yakinnya akan memenangkan, klien menolak.

Saya terlalu rajin untuk tidak bersyukur kepada sesuatu yang bernilai kecil. Susah sekali rasanya bersyukur ketika harapan tidak sesuai berjalan dengan kenyataan. Meski sudah acap kali saya mengalami kalau yang awalnya mengecewakan, yang awalnya saya pikir bernilai kecil, itu yang justru memberikan ketenteraman batin di kemudian hari.

Apakah yang saya cari dalam hidup ini pada akhirnya? Bukankah batin yang damai dan yang sejahtera yang mampu menenteramkan, apa pun wujudnya. Mau itu bernilai besar atau yang begitu kecilnya.

Lancar atau berhenti

Beberapa hari sebelumnya, saya mendapatkan pengalaman yang berbeda. Saya memesan taksi pada sore hari. Anda dan saya tahu, sore hari adalah waktu yang sungguh tidak tepat untuk memesan taksi di kota macam Jakarta ini. Kadang menunggunya bisa seperti pungguk merindukan bulan. Kalau saya tanya penyebabnya, maka saya pastikan Anda tahu jawabannya.

Setelah menunggu kira-kira lebih dari setengah jam, taksi yang ditunggu tiba. Saya masuk ke dalam taksi dan meminta si sopir mengantarkan saya ke sebuah mal yang lokasinya tak jauh dari tempat tinggal. Dalam keadaan normal, saya hanya membayar tak lebih dari Rp 20.000.

Maka dari itu, saat taksi mulai bergerak, saya mengatakan kepada pak sopir kalau nanti biayanya akan saya tambahkan sedikit dari biaya yang tertera di dalam argo. Ia tersenyum dan berkata begini, ”Ndak apa-apa, Dik. Jauh dekat itu anugerah.”

Saya seperti ditimpuk batu besar. Dan kemudian saya terdiam. Setelah berjalan kurang lebih tujuh menit, jalan menuju tempat bermain saya itu berhenti total. Alasannya pun saya pastikan Anda sudah tahu, apalagi kalau tidak kemacetan yang sudah tak bisa dipikirkan akal sehat.

Maka, dengan mulut yang tak bisa berhenti berkicau, saya berkomentar, ”Macet banget ya, Pak.” Ia menjawab tenang dan tetap tersenyum, ”Ya, Dik. Hidup itu yaaa… kayak gini. Kadang lancar, kadang tersendat, dan bisa saja berhenti seperti sekarang ini. Tapi yaa… kita itu mesti legawa. Dibawa senang saja dan semuanya disyukuri.”

Mendengar jawaban itu, rasa malu saya timbul mungkin seperti maling tertangkap basah. Kalau sebelumnya seperti ditimpuk batu besar, sekarang ini seperti kejatuhan pohon beringin. Sampai tak bisa berkutik.

Tiba di tempat tujuan setelah bokong terasa panas karena terlalu lama duduk, dan saya tak membayangkan apa yang dirasakan pak sopir, saya memberikan tambahan biaya yang seperti saya janjikan.

Saya memberikan uang Rp 50.000 untuk argo senilai Rp 30.000. Menerima kelebihan itu, si bapak berkomentar begini, ”Dik, ini banyak sekali.” Banyak? Maka, sore menjelang malam di tempat bermain itu, saya benar seperti orang gila rasanya.

Setelah pengalaman bersama pak sopir itu, saya bertanya kepada diri sendiri. Kapan akan datang waktunya kalau saya ini akan bisa melihat bahwa hidup ini harus dijalani dengan legawa, dengan hati yang bersyukur? Mau itu lancar, mau itu tersendat, dan kalau itu berhenti.

Kapan akan datang waktunya kalau saya bisa mengatakan bahwa yang jauh atau yang dekat, yang besar dan yang kecil, itu adalah anugerah?

2 komentar:

  1. Subhanallah, mendapatkan sesuatu dari tulisan ini. Besar kecil tetap harus disyukuri. Karena rasa cukup itu adanya di dalam hati.

    Nice share Kang Aan. Apa kabar? Masih ingat dengan Bunda Lahfy kan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hallo Bunda.
      Bagaimana mungkin saya bisa lupa sama Bunda? ^_^

      Terima kasih.

      Hapus

Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu. Terima kasih.