20 Agu 2013

Nasehat Cinta

Selama ini aku bingung dengan nasehat cinta yang aneh itu. Beberapa waktu kemudian saat aku pulang ke kampung halaman setelah lima tahun bekerja di luar kota, aku tersadarkan. Lebih tepatnya, orang tuaku yang menyadarkan aku.

Ayah dan ibuku masih memelihara kebiasaan lamanya yaitu sarapan bersama dengan hidangan yang cukup beragam karena ibuku tahu bahwa ayah tidak suka makanan yang tidak banyak sayur dan buah. Di hari kepulanganku, ibu menyajikan kue lumpur yang super gosong.

Kalau dipikir-pikir, mungkin ayah tak akan memakan kue lumpur tersebut walau itu adalah kue kesukaannya. Namun, pada akhirnya ia tetap memakan dengan lahap sambil tersenyum dan mendengarkan cerita ibuku atau aku. “Bagaimana Jogja?” kata ayah masih sempat bertanya padaku.

"Baik, Pak. Betah kok kerja di sana," jawabku.

Namun dibanding menjawab pertanyaannya, aku lebih memilih untuk mengamati ekspresinya. Ia tidak kelihatan senang dengan terpaksa di depan istrinya saat makan kue lumpur itu.

Aku ingat, beberapa tahun lalu saat adikku masih balita, pekerjaan rumah ibu banyak sekali. Kadang ia masak sampai gosong, keasinan, lupa garamkarena banyaknya yang ia lakukan, yang mana anak-anaknya akan menyisakan makanan itu di piringnya. Namun ayahku tidak, dia akan menghabiskannya, bahkan meminta kami ikut menghabiskan juga.

Tapi saat itu aku hanya tahu bahwa itu tentang ‘tidak membuang-buang makanan’. Kini, aku tahu alasan yang lebih besar dari semua itu.

Siang itu juga, ayah mengajakku memancing di kolam umum dekat rumah. Kami berbekal pisang goreng buatan ibu. Kali ini lagi-lagi agak gosong. Maka, kutanyakan pada ayah, mengapa ayah suka makanan gosong. Dan begini jawabannya.

"Sejak menikah, ibumu berusaha keras menjadi istri terbaik bagi ayah. Mulai dari ia belajar memasak hingga anak-anaknya lahir ke dunia, ia tak hanya menjadi istri, tapi juga jadi ibu," kata Ayah sambil menerawang ke arah pancingannya.

"Banyak pekerjaan yang dia lakukan. Ada yang benar, ada yang berantakan. Ketidaksempurnaan seringkali membuat kita berpikir negatif," Ayah melihat ke arahku. "Namun karena Ayah melihat cinta dalam setiap jerih payah ibumu, semuanya nampak indah dan enak. Iya to?" ujarnya sambil tergelak dan menyenggol tanganku.

"Pisang goreng ini kesukaanmu, kan? Mungkin kamu hanya tahu kalau pisangnya gosong. Tapi, ayah tahu kalau ibu sudah merencanakan membuat pisang ini jauh-jauh hari. Rela ke pasar untuk cari pisang bagus, tidak nitip ke tukang sayur," kata ayah dengan senyum penuh makna.

Ia seperti bisa membaca pikiranku mengapa aku bertanya hal ini padanya. Aku cengengesan dengan agak tersipu malu. Ayah merangkul pundakku dan berkata, “Ibumu itu wanita hebat yang sudah bekerja sangat keras demi keluarga ini. Dia layak mendapatkan cinta yang bertubi-tubi. Lagipula, pisang goreng gosong sedikit nggak akan bikin sakit hati, to?”

Aku mengangguk. Aku kini mengerti dengan pola pikir ayah. Cinta itu hal yang sederhana. Abu gosong makanan tak perlu menjadi prahara baginya, itu hanya hal kecil yang tak perlu dibesar-besarkan. Yang penting dari sebuah hubungan cinta itu bukan tentang sempurna atau tidak sempurna, namun berusaha membuat sebuah hubungan selalu sehat, tumbuh dewasa dan tahan hingga selama-lamanya.

sumber: vemale.com

2 komentar:

  1. Subhanallah... Sungguh bijaksana sang ayahanda. Penghargaan sekecil apapun buat seorang istri dan ibu, besar sekali maknanya. Salam hormat buat ayahanda.

    BalasHapus

Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu. Terima kasih.